MAKALAH
Ilmu
Budaya Dasar
“Tradisi
Mudik Lebaran Bangsa Indonesia”
Dibuat
Oleh :
Rizka
Aulia Fazri (56415122)
Kelas
1IA08
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
Mata
Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Dosen
: Edi Fakhri
Kata
Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyusun Tugas Ilmu Budaya Dasar ini dengan baik dan tepat waktu.
Seperti yang kita ketahui, mudik
sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia (Muslim) ketika lebaran tiba,
yang diadakan setahun sekali.
Tugas ini saya buat untuk
memberikan penjelasan tentang tradisi
mudik, sebab akibat mudik dan beberapa tradisi pengikutnya.
Saya menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat saya harapkan guna kesempurnaan makalah ini. Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, Bapak Edi
Fakhri.
Atas perhatian dan waktu Bapak, saya
sampaikan banyak terima kasih.
Depok, 31 Juli 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ……………………………………………………………….. i
Daftar
Isi ……………………………………………………………………… ii
Bab
I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1
Latar Belakang
……………………………………………………... 1
1.2
Rumusan Masalah …………………………………………………...
2
1.3
Tujuan Masalah
……………………………………………………. 2
Bab
II PEMBAHASAN ……………………………………………………. 3
2.1
Pengertian Mudik ……………………………………..
3
2.2
Dampak yang diakibatkan oleh tradisi mudik …………………..................... 4
Bab
III PENUTUP …………………………………………………………… 7
3.1
Kesimpulan …………………………………………………………. 7
3.2
Saran
………………………………………………………………… 7
Daftar
Pustaka ………………………………………………………………. … 8
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam
merupakan agama dengan penganut terbanyak di Negara Indonesia, jadi tidak heran
bahwa banyak sekali masyarakat yang merayakan hari besar umat Muslim yaitu
lebaran. Mudik sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak dulu kala oleh para
umat muslim. Pada awalnya “Mudik” merupakan istilah yang digunakan oleh
orang-orang Jawa, yang kemudian menjadi populer ditelinga masyarakat Indonesia.
Istilah ini berasal dari kata “udik” yang berarti arah hulu sungai, pegunungan,
atau kampung/desa. Orang yang pulang ke kampung disebut “me-udik”, yang
kemudian dipersingkat menjadi mudik.
Kata
“mudik” juga punya arti naik yang dapat dimaknai secara spiritual, yakni upaya
menaikkan spiritualitas kita agar lebih tinggi lagi setelah sekian waktu berada
dalam kehidupan metropolitan dan kehilangan spiritualitas, karena dipenuhi
persaingan dan pola hidup materialistik. Secara psikologis, mudik memberi
sumber kekuatan mental baru.
Tidak
ada kegiatan yang tidak menghasilkan dampak, begitu juga mudik ini. Sering kita
dengan tentang keluhan atau dampak tidak baik dari tradisi ini seperti
kemacetan, korban meninggal dunia di jalan raya, dan lain lain.
Dalam
makalah yang sederhana ini, Penulis memaparkan fenomena yang terjadi dalam
situasi mudik. Yang ternyata, ritual tahunan ini begitu banyak menyimpan
ketimpangan sosial bagi masyarakat, yang memang telah dianggap sebagai suatu
hal yang biasa terjadi menjelang Lebaran. Seperti arus kemacetan yang terjadi,
tidak sempurnanya keadaan jalan, ekonomi, dan fenomena-fenomena lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Mudik?
2. Apa
dampak negative dari mudik?
3. Bagaimana
cara menanggulangi keadaan yang selalu terjadi setiap tahunnya ini?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui pengertian mudik
2.
Mengetahui dampak negative yang
ditimbulkan dari mudik
3.
Mengetahui cara menanggulangi
keadaan/tradisi mudik
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mudik
Kata “mudik” punya arti naik yang dapat dimaknai secara
spiritual, yakni upaya menaikkan spiritualitas kita agar lebih tinggi lagi
setelah sekian waktu berada dalam kehidupan metropolitan dan kehilangan
spiritualitas, karena dipenuhi persaingan dan pola hidup materialistik. Secara
psikologis, mudik memberi sumber kekuatan mental baru.
Mudik
merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Jawa, yang kemudian menjadi
populer ditelinga masyarakat Indonesia. Istilah ini berasal dari kata “udik”
yang berarti arah hulu sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Orang yang pulang
ke kampung disebut “me-udik”, yang kemudian dipersingkat menjadi mudik.
2.2
Fenomena Mudik
Fenomena
mudik selalu terjadi setiap tahun menjelang Idul Fitri. Hal itu juga terjadi di
Cina, menjelang Imlek, dan beberapa Negara ketika menjelang Natal. Mobilitas
penduduk, pada saat-saat itu seperti meningkat pesat. Di Indonesia, terjadi
arus luar biasa setiap tahun menjelang Idul Fitri, khususnya dari Jakarta ke
seantero Indonesia.
Inilah sebuah fenomena yang terjadi setiap tahun,
yang selalu luput dari penyelesaian. Pada akhirnya mudik menjadi hal yang
membahagiakan tujuannya dan penderitaan fisik pada kenyataannya karena hal-hal
yang dilalui oleh pemudik.
Mudik
juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam
aspek psikologis, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila
mereka kembali bekerja di kota. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi
tradisi tahunan, juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa
kehilangan bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.
Sebaliknya,
fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota.
Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka
pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Anehnya, ternyata tarikan sosiologis
serupa sangat kuat, sebab tidak sedikit orang kota yang mudik sambil
bersandiwara. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari
rental.
Pada dasarnya, orang-orang memutuskan untuk mudik
untuk pulang ke kampong halaman atau berkumpul dengan keluarga besar untuk
menyambut hari kemenangan. Namun pada kenyataannya yang ada, sejak beberapa
tahun lalu, beberapa kasus kecelakaan di jalan raya oleh para pemudik tidak
bisa dihindari. Banyaknya angka kecelakaan dan korban jiwa sangat sulit
dihindari setiap tahunnya. Kemacetan yang diciptakan ketika menjelang lebaran
karna alasan mudikpun tidak bisa dihidari, seperti kasus mudik tahun ini karna
kemacetan yang sangat parah menghasilkan beberapa korban jiwa.
Terkadang
mereka rela antri dan memaksakan diri untuk membeli tiket baik bus maupun
kereta atau bahkan rela menyewa mobil beberapa hari untuk mudik.. Tak bisa
dipungkiri, mudik merupakan tradisi rumit yang membutuhkan persiapan fisik
mental dan tidak lupa tetap memegang azas keamanan dan keselamatan dalam
perjalanan.
Ada
lebaran ada mudik, seperti itulah mungkin pola piker bagi beberapa orang
Indonesia yang selalu rutin melalkukan mudik. Di balik tradisi mudik yang
dianggap sebagai kearifan budaya bangsa Indonesia, terkuak pula tabir
ketimpangan social yang luar biasa. Tradisi ini seringkali memunculkan fenomena
yang bertentangan dengan akal sehat. Di sisi lain, kegairahan mereka yang
merayakan hari kemenangan pertempuran rohani lewat ibadah shaum sebulan penuh,
dimanfaatkan dengan begitu baik oleh kalangan pebisnis untuk merangsang pola
konsumtif yang meledak-ledak. Suasana Lebaran tampaknya selalu menjadi ajang di
mana orang merasa harus meningkatkan arus belanjanya secara berlipat. Mudik
benar-benar menjadi dilema, dimana hasrat pemudik begitu menggebu-gebu ingin
sampai kampung halaman bertemu sanak keluarga. Namun justru ritus inilah yang
seringkali membuat kemacetan, kriminalitas, dan kecelakaan lalu lintas
meningkat dimana-mana. Belum lagi, instabilitas ekonomi yang tercipta akibat
ulah pengusaha yang mencari untung dari tradisi tahunan ini.
Sayangnya,
sebagian besar orang masih memandang tradisi mudik ini positif, dan membiarkan
segala kerumitannya menjadi hal yang biasa. Padahal, jika dianalisis, tradisi
ini justru secara gamblang menelanjangi berbagai masalah dan ketimpangan sosial
di negeri ini. Fenomena-fenomena yang terjadi diantaranya,
Pertama, fenomena lengangnya kota-kota besar dan
ramainya desa-desa. Ini menunjukkan, beban berat kota besar di Indonesia
khususnya Jakarta sebagai pusat ibu kota, selama ini disebabkan oleh
menumpuknya jutaan manusia di sana. Mengapa tradisi mudik lebaran menjadi
sangat fenomenal di negeri ini? Ini terkait dengan politik pembangunan.
Mudik terjadi karena terpusatnya kegiatan kehidupan
di kota dan melemahnya fungsi kehidupan di desa. Fungsi-fungsi kota di daerah
tidak diberdayakan secara optimal sehingga orang memilih memburu kehidupan dan
mencari pekerjaan di kota-kota besar. Padahal kota besar seperti Jakarta belum
tentu menjanjikan dan tak seindah yang mereka bayangkan. Betapa kehidupan
metropolitan sangat keras dan kejam bagi mereka yang tak memiliki keahlian dan
keterampilan. Arus urbanisasi ini meningkatkan angka kemiskinan yang
signifikan. Bisa terlihat, dari tahun ke tahun, Jakarta dipenuhi sesak oleh
pendatang baru yang berdatangan mengadu nasib untuk meraih kehidupan yang lebih
baik. Kenyataannya, justru sebaliknya mereka kebanyakan terlunta-lunta di
jalanan menjadi tunawisma dan pengemis.
Kedua,
fenomena manajemen transportasi yang semrawut serta kurang optimalnya
infrastruktur transportasi yang ada. Baik di darat, laut, maupun udara. Ataupun
masalah jalur mudik yang dilalui, jalanan macet, dan armada yang tak mencukupi.
Jumlah pemudik dan armada yang ada cenderung tidak seimbang. Kenyamanan pemudik
di perjalanan masih menjadi sesuatu yang mahal dan sulit dimiliki karena
berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan kondisi pemudik. Kenyamanan
pemudik hanya dapat dirasakan bagi mereka yang berduit dan membeli tiket
eksekutif, sedangkan orang-orang menengah ke bawah yang membeli tiket ekonomi
kenyamanan mereka masih jauh dari harapan. Faktor internal yang lain ialah
hasrat pemudik yang ingin cepat-cepat sampai tempat tujuan tanpa memperhatikan
lagi keselamatan diri. Itulah sebabnya mengapa korban-korban kecelakaan terus
berjatuhan dalam arus mudik dan balik. Telah tercatat pada arus mudik-balik
tahun 2008 ini, banyak sekali kecelakaan lalu lintas yang tak terkendali,
terutama pada H+1. Kendaraan yang sering mengalami kecelakaan yaitu kendaraan
roda dua.
Sedangkan faktor eksternalnya antara lain minimnya
armada kendaraan yang nyaman bagi pemudik. Kenyamanan itu harus dibeli dengan
mahal dan mewah. Sementara warga kelas ekonomi pas-pasan berjuang keras
mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Bahkan tak jarang mereka tak peduli
kenyamanan dan keselamatan diri ‘asalkan bisa terangkut’ sampai tujuan.
Ketiga,
instabilitas ekonomi dan keamanan. Membumbungnya bahan-bahan kebutuhan pokok
menjadi hal yang biasa berulang tanpa kendali setiap tahun menjelang Lebaran.
Fenomena ini barangkali hanya terjadi di Indonesia. Padahal, akibat kenaikan
bahan-bahan pokok ini mengakibatkan angka kriminalitas semakin tinggi. Semakin
terhimpit ekonomi seseorang, semakin pendek akal pikiran sehingga terpaksa
melakukan tindak kriminal. Karena kejahatan terjadi bukan hanya ada kesempatan,
namun juga karena tekanan. Tekanan ekonomi membuat seseorang dapat menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan uang dan kebutuhan hidup. Sehingga terjadilah
pencurian, penjambretan, bahkan perampokan yang berakhir dengan pembunuhan.
Instabilitas ekonomi ini menyebabkan keamanan masyarakat terancam.
Mudik
adalah fenomena realitas sosial budaya dan ekonomi yang walaupun tidak ada
dasar di dalam ajaran agama namun seolah telah menjadi ritual wajib. Ajang
silaturahim terbesar di dunia yang hanya ada di Indonesia. Bukti nyata bahwa di
negara ini azas kekeluargaan tetap hidup lestari walaupun justru sering
dinafikan para pemimpin, pejabat dan wakil rakyat demi kepentingan sesaat yang
sesat sehingga setiap tahun kita melihat bagaimana negara ini gagal melakukan
penataan manajemen untuk melayani para pemudik secara layak, aman, nyaman dan
bermartabat. Yang kita lihat selalu hanya keruwetan dan berbagai tragedi
kemanusiaan yang seharusnya dapat diantisipasi sehingga tidak perlu terjadi.13
Fenomena mudik ini seharusnya harus membuat semua
pihak lebih peka terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan. Tidak hanya
pemerintah, masyarakat pun turut berpartisipasi. Munculnya akar permasalahan
mudik timbul karena tidak adanya keseimbangan dalam berbagai hal. Bila pihak
pemerintah dan masyarakat dapat bekerja keras dan bekerja sama secara efisien,
niscaya masalah mudik akan dapat teratasi. Sehingga nanti tidak akan ada lagi
arus urbanisasi yang menekan laju pertumbuhan penduduk, stabilitas ekonomi
mulai menunjukkan perubahan ke arah yang lebih maju, dan risiko berjatuhannya
korban Laka Lantas (kecelakaan lalu lintas) dapat diantisipasi.
2.3
Mengatasi Mudik
Tradisi mudik bukanlah tradisi yang salah akan
tetapi jika pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik bukanlah hal yang
benar juga. Bagi para pemudik ada baiknya tidak selalu memaksakan diri untuk
melakukan tradisi ini. Mudik tidak harus dilakukan pada hari kemenangan saja. Sesuai
kan kondisi ekonomi, kesehatan dan beberapa factor lain sebelum memutuskan
untuk melakukan mudik. Karena kesehatan keluarga lebih penting daripada
keinginan untuk bertemu namun berakhir tidak sesuai dengan keinginan.
Menjadi pribadi yang lebih selektif dalam mengambil
keputusan akan lebih baikk.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis
dapat menyimpulkan beberapa kategori yaitu:
Tradisi
mudik yang menjadi ciri khas kaum muslim bagi masyarakat Indonesia menjelang
hari kemenangan tidak sepenuhnya berjalan sesuai yang diharapkan karena beberpa
hal yang dapat menyebabkan hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan,
kondisi tubuh yang tidak baik dan keadaan ekonomi yang tersedak.
Mudik
atau pulang ke kampung halaman akan lebih baik dilakukan dengan memperhatikan
beberapa factor internal seperti kondisi ekonomi, kesehatan keluarga dan
kesiapan fisik juga factor external yaitu kondisi jalan dan jarak yang akan
ditempuh.
3.2 Saran
Bertemu
keluarga saat hari kemenangan memang hal yang sangat menyenangkan namun, tetap
harus bisa memprioritaskan hal yang memang seharusnya diprioritaskan. Kesehatan
dan keutuhan keluarga lebih penting daripada keinginan yang besar tanpa
memperhatikan keadaan sekitar. Mudik dengan kondisi dan keadaan yang baik
sangat sangat diperlukan.
Daftar
Pustaka
http://muhammadzeiin.blogspot.co.id/2014/01/budaya-mudik-di-indonesia.html